Salah satu kelompok yang mengikuti secara mendalam kisah perjuangan Diponegoro adalah Komunitas Kota Toea Magelang. Bagus Priyana, salah seorang pendiri komunitas bercerita, sang pangeran bukan hanya pahlawan biasa, tapi seorang pemikir ulung.
"Cerita dari kakek-kakek kami mengatakan, sebelum perang selama lima tahun itu, Diponegoro sudah mempersiapkannya selama 8 tahun ke belakang," terang Bagus saat berbincang dengan detikcom, Jumat (6/2/2015).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi waktu itu ada istilah pajak pantat. Pokoknya setiap yang punya pantat kena pajak," ungkapnya.
"Pangeran Diponegoro juga mempersiapkan senjata dengan memindahkan para pandai besi ke Ponorogo. Mereka di sana selama 6 tahun untuk mempersiapkan persenjataan perang," ceritanya.
Di tahun 1830, Diponegoro memang berhasil ditangkap oleh Belanda. Namun rupanya itu terjadi setelah ada pengkhianatan. Niat awal untuk berunding malah ditangkap.
"Setelah itu dibawa ke Semarang, lalu ke Batavia, Manado, hingga ke Makassar," bebernya.
Meski sudah ditangkap, perjuangan para pengikuti Diponegoro belum selesai. Mereka tetap memerangi Belanda dengan cara gerilya meski tidak sebesar ketika ada Diponegoro.
"Itu masih berlangsung sampai puluhan tahun," tambah pria yang baru saja mengikuti acara pameran Diponegoro di Jakarta ini.
Sejumlah benda pusaka dan senjata Diponegoro ketika berjuang pun tercecer. Seperti misalnya tongkat Kiai Cokro yang berada dalam penguasaan Belanda dan baru kemarin dikembalikan ke Indonesia. Selain itu, ada juga pelana yang kerap dipakai saat pangeran berkuda. Mata tombak dan senjata lainnya pun ditemukan di berbagai tempat terpisah.
"Di pulau dekat kali Progo, di sana masih ada batu besar yang konon tempat salat Diponegoro. Di museum Diponegoro di Magelang, ada dipan tempat salat. Di bukit Menoreh, ada juga tiga batu yang sangat penting, buat salat, istirahat dan bertapa," jelasnya.
Kitab huruf arab gundul yang kerap dibaca pangeran juga tersimpan di museum. Termasuk jubah sang pangeran yang ada di Bakorwil Magelang.
Sedangkan cerita tentang tongkat, kala itu dikabarkan memang digunakan oleh Diponegoro. Namun banyak yang menganggap, tongkat itu baru dipakai ketika pangeran di tahanan, atau menginjak usia tua. Sebab, ketika ditangkap, pangeran Diponegoro masih berusia 44 tahun dan sehat.
"Kalau kuda, pelana dan mata tombak ditinggalkan oleh Diponegoro ketika disergap Belanda pada 19 November 1829 di lereng Merapi. Semua dirampas lalu dikirim ke Belanda," paparnya.
Saat ini, komunitas kota Toea Magelang terus menjelajahi berbagai kisah sejarah di kota mereka. Mulai dari Diponegoro hingga tempat lainnya.
(mad/nal)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu