Jangan Sampai Gelar Kota Batik Dunia Milik DIY Dicabut Kembali

Hal itu jika dalam waktu empat tahun setelah penetapan, ternyata tidak ada dampak positif ke semua pihak.

Penulis: had | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/Angga Purnama
Seorang siswi SD Kanisius Kadirojo sedang membatik di halaman sekolah tersebut, Rabu (9/9/2015) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Gelar DIY sebagai Kota Batik Dunia yang diberikan oleh World Craft Council (WCC) di Tiongkok pada 2 Oktober 2014 lalu, dapat dicabut dan dialihkan ke daerah lain.

Hal itu jika dalam waktu empat tahun setelah penetapan, ternyata tidak ada dampak positif ke semua pihak.

“Kalau gelar tersebut tidak dijaga dan dimanfaatkan, ya akan dicabut lagi serta diberikan ke kota lain,” kata Sekjen Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DIY, Zaenal Arifin H, di Kantor Dekranasda DIY, Komplek Kepatihan, Rabu (30/9/2015).

Ia menjelaskan, dampak positif tersebut terutama pada perajin dan tujuh kriteria yang didasarkan sebagai penetapan kota batik.

Maka pihaknya mendesak pada pemerintah untuk menjaga dengan melibatkan semua instansi dan masyarakat agar mempertahankan keaslian batik.

Tujuh kriteria itu antaralain nilai sejarah atau historisnya, originalitas, batik yang non kimia dan ramah lingkungan, mentrasfer kepada generasi penerus, budaya, konsistensi nilai dan ekonomi para perajin batik.

Menurut Arifin, problem utama di DIY adalah mahalnya batik asli. Hal itu disebabkan mahalnya bahan baku dan minimnya regenerasi pembatik. Di sisi lain, proses pembuatan batik yang rumit, perlu terus disosialisasikan agar seluruh masyarakat memahami alasan mahalnya batik asli.

Desainer Batik yang juga Wakil Ketua Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad, Afif Syakur mengharapkan setelah DIY mendapat predikat sebagai Kota Batik Dunia, harus ada blue print bagaimana ke depannya dan tentu saja harus tetap mempertahankan ketujuh kriteria penilaian itu.

“Selama ini penghargaan terhadap batik di DIY masih kecil karena belum menjadi komoditas ekonomi utama dan (hanya) menjadi sambilan semata,” katanya.

Plh Kepala Disperindagkop dan UKM DIY yang juga Kepala Disdikpora DIY, Kadarmata Baskara Aji mengungkapkan, membatik sudah dijadikan kurikulum dan ekstra kulikuler pendidikan di DIY.
Upaya tersebut sebagai langkah regenerasi.

“Saat ini di data kami terdata 441 pembatik di DIY, sedangkan di Dekranasda DIY tercatat hingga 6.000 pembatik,” ujarnya.

Pihaknya juga memberikan pelatihan tentang membatik ke 400 guru setiap tahunnya, mulai motif, filosofi, pemakaian, pembuatan dan sebagainya. Setiap sekolah juga difasilitasi dengan peralatan membatik berupa canting, kompor dan gawang.

Sementara itu, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Surat Edaran (SE), bahwa pada Jumat (2/10) mendatang, semua instansi di DIY diimbau untuk memerintahkan pada para pegawainya agar memakai pakaian batik.

“Dikeluarkannya edaran ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009 tentang Hari Batik Nasional (2 Oktober),” kata Sekda DIY, Ichsanuri.

Pada SE nomor 003/9675 tertanggal 28 September 2015 tentang Hari Batik Nasional tersebut, ditujukan pada semua Bupati, Wali Kota, Kepala Instansi Vertikal, dan Kepala SKPD se DIY. Para pimpinan tersebut diminta untuk memerintahkan pada jajarannya agar mengenakan busana batik.

Adapun dikeluarkannya SE untuk memakai pakaian batik tersebut, dengan alasan batik Indonesia telah dikukuhkan ke dalam daftar representatif budaya tak benda warisan manusia, oleh United Nation Educational Scientific Cultural Organization (UNESCO).

Kemudian mengenakan batik dianggap dapat meningkatkan citra positif martabat bangsa di forum Internasional, dan menumbuhkan kebanggaan terhadap kebudayaan Indonesia.

“Serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap perlindungan dan pengembangan batik Indonesia,” katanya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Tags
batik
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2024 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved