Pak Jokowi, Warga Belum Percaya Polri dan Kejagung Bisa Berantas Korupsi

Pak Jokowi, Warga Belum Percaya Polri dan Kejagung Bisa Berantas Korupsi

- detikNews
Sabtu, 24 Jan 2015 15:29 WIB
(Foto: Setpres)
Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir atas amanat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasca Reformasi 1998. Saat itu, warga kehilangan kepercayaan pada aparat penegak hukum seperti Polri dan Kejagung dalam memberantas korupsi. Setelah 17 tahun reformasi berlalu, apakah kepercayaan publik pada dua lembaga penegak hukum itu sudah kembali?

"Belum. Public trust belum kembali. Publik tidak percaya pada polisi, institusi kehakiman, aparat penegak hukum koruptif, dianggap masih menjadi tempat mafia hukum, perdagangan hukum," jelas peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Oce Madril.

Oce menambahkan, dirinya tak asal bicara. Beberapa studi dan survei oleh lembaga antikorupsi memang menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum masih belum dipercaya warga.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Terbaru TII (Transparency International Indonesia) menggambarkan masyarakat belum percaya institusi polisi dan jaksa, belum cukup memberikan kepercayaan pada masyarakat," jelas Oce.

Pada tahun 2013 lalu, TI menemukan negara yang menyebut kepolisian negara paling korup yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia sendiri, dari 1.000 responden di 5 kota besar yang dijaring mengatakan lembaga paling korup adalah kepolisian dan parlemen dengan indeks 4,5 dari parameter angka 1 yang tidak korup sama sekali hingga 5, sangat korup. Setelah kepolisian dan parlemen, lembaga yang diilai korup adalah peradilan 4,4; partai politik 4,3; pejabat publik 4, bisnis 3,4; kesehatan 3,3; pendidikan 3,2; militer 3,1; LSM 2,8; lembaga keagamaan 2,7; dan media 2,4.

Ketika disinggung Kejaksaan Agung yang resmi membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (P3TPK) pada 8 Januari 2015 lalu, apakah tidak akan bergesekan dengan KPK?

"Satgassus itu bagus, cuma kalau dia akan jadi semacam persaingan dengan KPK itu tidak sehat. Harus dilakukan pola kerja sama, seperti misalnya Satgassus fokus kasus-kasus besar di daerah yang belum ditangani KPK. Namun UU KPK memerintahkan setiap penegak hukum berkoordinasi dengan KPK dalam hal pemberantasan korupsi. Kalau itu ditaati tidak ada friksi, akan semakin memperkuat," jelas dia.

Sebaliknya, kepercayaan masyarakat memberantas korupsi ini ada pada KPK. Bahkan, KPK mendapatkan dukungan warga secara sukarela.

"Berbanding terbalik dengan KPK, masyarakat memberikan dukungan penuh, secara sukarela, volunterisme. Jelas. Masyarakat berduyun-duyun di berbagai kota, masyarakat tak pernah berhenti mendukung di berbagai kalangan. Media, buruh, mahasiswa. Itu yang disebut akal sehat. Masyarakat sudah cerdas," tuturnya.

Masyarakat, lanjut dia, kini sudah bisa memilah dan memilih, mana yang betul-betul memperjuangkan pemberantasan korupsi, mana yang tidak.

"Harus dipahami Presiden, reformasi di kepolisian dan kejaksaan masih sangat jauh. Kita butuh KPK, tidak boleh diganggu. Negara ini masih sangat korup, IPK (Indeks Persepsi Korupsi) belum naik. Situasi korup kalau gembosi KPK, maka kita akan kembali ke sebelum reformasi, seperti Orba, apa itu yang diinginkan?" tegas Oce.

(nwk/fjr)